Sabtu, 11 Desember 2010

Menikmati sensasi seni

Jumat, 10 Desember 2010


Menikmati sensasi seni

Menikmati seni dan "nikmatnya seni", nikmatilah seni maka segera anda akan merasakan "nikmatnya seni".
Sudah tentu berbagai sensasi akan dirasakan orang-orang yang bisa menikmati karya seni.
Rasa senang, bahagia, damai, haru, sedih, bangga, percayadiri, spiritual dan apa saja yang menginspirasinya pada waktu tertentu.


A. Artworks of study in Indonesian Art Institute


                                 "The King",acrylic on canvas,150x130cm,2001





                                "The Queen",acrylic on canvas, 150x130cm,2001



                             "Mr.Tikus & Mr.Kucing",acrylic on canvas, 130x150cm, 2003
                          

                              "The next generation",acrylic on canvas,130x140cm,2002






                            "Mother & Father",acrylic on canvas,2002




 B. Listening Series


                                                               "Mahatma Gandhi Listening",acrylic on canvas,180x175cm,2008.






                                "Old & Young Listening",acrilyc on canvas,160x140,2008.
                                  





                                 "John Lennon Listening",acrylic on paper,50x30cm,2010





                                   "Mother Teresa Listening",acrylic on canvas,50x30cm,2010




C. Dunia Kapur


                               "Mendorong Mobil", acrylic on canvas,200x150cm,2010






                          "Belajar Menggambar Manusia",acrylic on canvas,200x150cm,2010






                             "My Friend is Pink",acrylic on canvas,200x150cm,2010





KADAFI GANDI KUSUMA

Born : Jember, 12 July 1974
Education :
1992 
Indonesian Institute of Arts (ISI), Yogyakarta, Indonesia
Mail : kadafikusuma@gmail.com


Awards :
2009 
Finalist of Tujuh Bintang Art Award Yogyakarta
2003 Finalist of The Beppu Contemporary Art Exhibition, Japan
Finalist of Indofood Art Award, Jakarta
2002 Finalist of PEKSIMINAS, Yogyakarta
2000 Finalist of Philip Morris, Jakarta


Solo Exhibitions:
2010
“Membaca Frida Kahlo #2”, Nadi Gallery, Jakarta


Selected Group Exhibitions: 
2010  "Soccer Fever", Galeri Canna, Jakarta
          "Rehorny'92", Jogja Nasional Museum, Yogyakarta
           "Masih Ada Gusdur", Galeri Langgeng, Magelang
2009
“Mengenang Romo Mangun”, Karta Pustaka, Yogyakarta
 "Jeunes Peintres Indonesiens" La Galerie Zart 03, Prancis
“JAF II”, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta
Kompetisi Tujuh Bintang, Yogyakarta
"Meeting People is not Easy",Roommate Gallery, Yogyakarta


2008
"Tekan*010#", Kel.Sepi,Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta


2006
"Sumpah Perupa",Melia Purosani Hotel, Yogyakarta
Remember”, SEPI group, Greens Café Western, Australia


2005
Biennale Jogja VIII, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta
Sabtu Siang”, Hyatt Hotel, Yogyakarta


2004
Workshop with Autodidact Painter ("saving Budha"), One Gallery, Bali


2003
Beppu Contemporary Art Exhibition”, Japan
Pesona Kartini dalam Pesona Warna”, Nalendra Building, Ungaran
Indofood Art Award, Jakarta


2002
SEPI ber-SERI”, Akseri Gallery, Yogyakarta
PEKSIMINAS, Benteng Vredeburg, Yogyakarta
Seven, Art Center, Korea
SEPI, Sejahtera Apartment, Yogyakarta
 “Rekreasi”, Widayat Museum, Mungkid, Magelang
Super Lutis”, Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta


2001
Indifferent Story“, Gelaran Budaya, Yogyakarta
Hutan Bambu dan Sekotak Kartu”, Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta
Gejolak Ekspresi”, Melia Purosani Hotel, Yogyakarta
SEPI Dua Meteran”, Benteng Vredeburg, Yogyakarta
FKY XIII”, Benteng Vredeburg, Yogyakarta
Seven Exhibition”, Galeri Air, Jakarta
 “Seven Exhibition”, British Council, Jakarta
Seven Exhibition”, Cemara Enam Gallery, Jakarta
Nalendra Building, Semarang
Sepiring Indonesia”, Gelaran Budaya, Yogyakarta


2000
Sumpah Perupa”, Melia Purosani Hotel, Yogyakarta
Philip Morris Exhibition, the National Gallery of Indonesia, Jakarta
SEPI PELOEIT 2000“, Benteng Vredeburg, Yogyakarta
Sumpah Perupa”, Griya KR, Yogyakarta
Long Drawing With SEPI Group, Yogyakarta


1999
Sumpah Perupa”, Melia Purosani Hotel, Yogyakarta
Driming Drum“ Performance Art, Biennale Jogja V Opening, Yogyakarta


1997
Gala Dinner Exhibition, Yogya Café, Yogyakarta


1996
FKY VIII, Benteng Vredeburg, Yogyakarta


1995
Legenda 1992”, Purna Budaya, Yogyakarta


1994
Legenda 1992”, Indonesian Art Institute, Yogyakarta


1993
Islamic Exhibition, Islamic University of Indonesia, Yogyakarta


1992
Kartini’s Day Exhibition, Jember


2001
Art Cologne, Asian Fine Arts Pruess and Ochs Gallery, Berlin, Germany

Monalisa - MonaFrida

Frida Kahlo Menghela Kadafi



Oleh AFNAN MALAY
NADI Gallery, Jakarta, 2-17 Maret 2010, mengadakan pameran tunggal Kadafi Gandhi Kusuma bertajuk Membaca Frida Kahlo # 2. Sebanyak 16 lukisan apropriasi dipajang -yang berasal dari foto pribadi atau gubahan atas lukisan Frida-dominasi warna kusam yang memikat. Perhelatan dengan tema yang persis sama pemah dilakukan Nadi pada 2001. Apa yang istimewa dari pameran kali ini?
Pastilah bukan penggalan kisah kehidupan Frida (1905-1954), pelukis Meksiko istri Diego Rivera, yang sohor itu. Te;itu membicarakan Frida, perempuan yang memiliki "banyak sisi untuk dipercakap-kah". seperti yang diungkapkan penulis Martha Zamora (1990), mampu menguras perhatian kita. Tetapi, bagi sebagian perupa yang pernah sama-sama mengenyam pendidikan seni rupa, yang menjadi "gunjingan heboh" adalah sang perupa yang mengusung Frida mereka biasa menyapanya Dafi.
Dafi, lelaki Jember kelahiran 12 Juli 1974. itu terbilang sangat dini berkenalan dengan lingkungan dunia lukis "yang akademik". Dafi secara khusus dituntun ayahnya untuk berguru kepada Pak Ketut (saat kelas 5 SD) dan Pak Soeroso (ketika kelas 2 SMP), murid pelukis realis Dullah. Puthut E.A. yang menulis dalam katalog pameran menyebutkan, ketika kanak-kanak, Dafi lebih terkesima visual daripada teks-teks buku pelajaran yang seharusnya dia pelajari.
Beberapa waktu sebelum menyiapkan lukisan-lukisan tentang Frida, kritikus seni rupa Wicaksono Adi yang mengenal Dafi belasan tahun silam pemah memberikan penilaian. Menurut Adi, dari beberapa perupa kawan-kawan seangkatan Dafi (1992) di Jurusan Lukis ISI, Jogjakarta, yang kini mendapatkan tempat dalam peta seni rupa kita, kehadiran Dafi sangat ditunggu-tunggu.
Kawan-kawan sekelas Dafi yang lebih dulu menyodok khasanah seni rupa, antara lain. Didik Nurhadi, Diah Yulianti, Popok Triwahyudi, Iwan Wijono, S. Teddy D., Mahendra Mangku, Pande Ketut Taman, Made Sumadiyasa. dan Dipo Andy.
Adi, komparalor perupa Jogja-Bandung, menyebut modal dasar Dafi adalah teknis realisnya yang sangat kuat. Karena ilu. Adi (idak heran, ketika kuliah, eksplorasi Dafi kc ranah ekspresionisme, surealisme, dan abstrak terbilang berhasil. Persoalan Dafi dalam meramaikan seni rupa kila hanyalah
ihwal intensitasnya dalam "bertarung".
Setelah puluhan kali terlibat pameran bersama sejak 1992. Dafi seakan menemukan jalannya pameran tunggal pertama di galeri yang prestisius. Karena itu. perupa seperti Stefan Buana, Kokok P. Sancoko, dan Rain Rasidi (kurator dan dosen ISI Jogja) menyambut hangat pertanda baik yang mulai ditempuh Dafi, kawan mereka.
Dafi, selain punya stamina yang cukup mumpuni dalam berkarya -karena telah menundukkan kendala teknis sejak usia dini-, terbilang mampu menyelesaikan garapannya dalam waktu yang tidak lama. Pada pamerannya kali ini, Dafi "menggubah" Frida dan Diego yang bertengger di atas tengkorak masing-masing dalam dua penel (Frida # 16).
Lalu, lukisan Frida 1946 Wounded Decr (A Little Deer) -rusa berkepala Frida-diubah Dafi dengan menghilangkan sembilan anak panah yang menancap serta tangkai dahan yang patah. Rusa Dafi (Frida # 6) dibuat lebih close-up. Rusa dalam posisi tengah berhenti, tatapannya lurus penuh awas dan menghadirkan "kesunyian yang bertahan". Rusa Frida sedang memacu lari dengan sedikit kecepatan yang tersisa karena tubuhnya dihujani panah dramatis-melankolis.
Pada Frida # 1, Dafi mcngapropriasi lukisan diri Frida tahun 1944 (My Parrols and I) yang kedua tangannya menggamit dua ekor beo dan dua beo yang lain hinggap pada kedua sisi bahunya. Frida menjadi Monalisa berwajah lancip (hidung, bibir, dagui Sementara itu, keempat burung beo diganti gagak hitam dalam posisi yang sama. Frida # 7 memodifikasi lukisan Frida tahun 1937. Self-Portrait Dedicated to Leon Trosky.
Sedangkan pada Frida # 4, Dafi mengubah lukisan pelukis potret John Singer Saigeant (1856-1925) yang dikaguminya. Objek itu berupa seorang lelaki berdasi yang sedang duduk, oleh Dafi diubah menjadi Frida. Selebihnya, dalam lukisan akrilik yang rata-rata berukuran sekitar 150 x 200 cm, Dafi melakukan visualisasi foto-foto Frida (dengan suami atau kerabatnya). Salu di antaranya yang didominasi warna merah adalah potret diri Mao Tje Tung berdiri berjajar dengan kawannya (diubah Dafi menjadi Frida).

"Frida #13", Acrylic on canvas, 200x200cm, 2010


Di sela-sela pembukaan pameran, kurator senior Enin Supriyanto menanyakan kepada Dafi sepotong pertanyaan sederhana berkaitan dengan tema mengapa (foto-foto) Frida Kahlo? Dafi menjawab pendek, foto mempunyai "realitas media" sendiri.
Apalagi, di luar ketenarannya sebagai perupa, sosok Frida juga merupakan "realitas media" yang tidak basi unluk direpetisi.
Pertanyaan yang semangatnya sebangun dengan sodoran Enin kepada Dafi bisa jadi diajukan pula -entah oleh siapa- kepada pemilik Nadi Gallery Biantoro Santoso kenapa Kadafi Gandhi Kusuma? Tetapi, tentu saja. Bian tidak akan menemukan kesulitan unluk menjawab pertanyaan itu. Atau, dia dapat melakukan dengan bahasa yang tidak ingin menggurui sekaligus merampas apresiasi mereka yang bertanya, dengan cara lihat sendiri, karya-karya Dafi akan menjawabnya lugas.
Di luar logika umum bahwa Dafi mengusung Frida Kahlo merupakan siasat untuk meyakinkan galeri, apalagi Nadi Gallery yang pernah membuat pameran sama dengan sejumlah perupa agaknya perlu perspektif lain untuk membaca pameran kali ini. Saya tertarik mengatakan demikian sebagai langkah awal intensitas Dafi dalam dunia seni rupa kita dia sepertinya mendapatkan "kehormatan dihela" Frida Kahlo.
Agaknya, semua menjadi pantas bila kita larik serentangan garis korelatif Nadi Gallery, Frida Kahlo, dan Kadafi Gandhi Kumuh.i Tentu saja yang tersisa adalah pembuktian oleh Dafi sendiri. Nadi telah membuktikan reputasinya dalam peta seni rupa kila. Frida adalah perupa yang "lidak pemah habis" untuk dipercakapkan.
Akhirnya berpulang kepada Dafi unluk mempertaruhkan kesenimannya perkenalannya yang dini dengan dunia kesenangan yang digelutinya kini; kemahirannya menggoresi kertas dun kanvas yang diakui kawan-kawannya dan kesediaan galeri yang memiliki reputasi menggelar pameran tunggalnya. Fakta ilu tidak dimiliki banyak perupa lain, tetapi mereka -lewat karya-karyanya- menjadi percakapan

"Frida #2", acrylic on canvas, 200x140cm, 2009.

"Frida #16", acrylic on canvas, 200x140cm, 2010.

"Frida #11", acrylic on canvas, 200x140cm, 2009.

Penantian kawan-kawannya sesama perupa -termasuk dorongan yang senantiasa terjaga, misalnya yang dilakukan S. Teddy D. dan Dipo Andy- lidak lagi menemukan kebekuan teka-teki Dafi pameran tunggal. Kini perupa dari Jember itu. yang selia menghadiri wejangan Emha Ainun Nadjib, yang sebagian di antaranya menginspirasi kesenimanannya, "sudah mencair". Tidak ada lagi yang menunggu, tak diperlukan pula kerumunan para pengantar. Dafi harus terus bertarung memecahkan teka-lckinya sendiri. (*)) Afnan Malay, pemerhati seni rupa tinggal di Jogja


Entitas terkaitAdi | Afnan | Akhirnya | Bian | Dafi | Diah | Didik | Diego | Dipo | Enin | Fakta | Frida | Iwan | Jember | Kokok | Leon | Mahendra | Meksiko | Monalisa | NADI | Objek | Pastilah | Penantian | Perhelatan | Pertanyaan | Popok | Puthut | Rusa | Salu | Sebanyak | Stefan | Teddy | Tentu | A Little | Emha Ainun | Enin Supriyanto | Frida Kahlo | Jurusan Lukis | Kadafi Gandhi | Martha Zamora | My Parrols | Nadi Gallery | Pada Frida | Pak Ketut | Pak Soeroso | Pande Ketut | Persoalan Dafi | Portrait Dedicated | Rain Rasidi | Rusa Dafi | Rusa Frida | Wicaksono Adi | Wounded Decr | John Singer Saigeant | Kadafi Gandhi Kusuma | Mao Tje Tung | Membaca Frida Kahlo | Oleh AFNAN MALAY | Frida Kahlo Menghela Kadafi | Nadi Gallery Biantoro Santoso |


Ringkasan Artikel Ini
Tetapi, bagi sebagian perupa yang pernah sama-sama mengenyam pendidikan seni rupa, yang menjadi "gunjingan heboh" adalah sang perupa yang mengusung Frida mereka biasa menyapanya Dafi. yang menulis dalam katalog pameran menyebutkan, ketika kanak-kanak, Dafi lebih terkesima visual daripada teks-teks buku pelajaran yang seharusnya dia pelajari. Dafi, selain punya stamina yang cukup mumpuni dalam berkarya -karena telah menundukkan kendala teknis sejak usia dini-, terbilang mampu menyelesaikan garapannya dalam waktu yang tidak lama. Pada pamerannya kali ini, Dafi "menggubah" Frida dan Diego yang bertengger di atas tengkorak masing-masing dalam dua penel (Frida # 16). Lalu, lukisan Frida 1946 Wounded Decr (A Little Deer) -rusa berkepala Frida-diubah Dafi dengan menghilangkan sembilan anak panah yang menancap serta tangkai dahan yang patah. Pada Frida # 1, Dafi mcngapropriasi lukisan diri Frida tahun 1944 (My Parrols and I) yang kedua tangannya menggamit dua ekor beo dan dua beo yang lain hinggap pada kedua sisi bahunya. Atau, dia dapat melakukan dengan bahasa yang tidak ingin menggurui sekaligus merampas apresiasi mereka yang bertanya, dengan cara lihat sendiri, karya-karya Dafi akan menjawabnya lugas. Akhirnya berpulang kepada Dafi unluk mempertaruhkan kesenimannya perkenalannya yang dini dengan dunia kesenangan yang digelutinya kini;